Berikut ini adalah contoh makalah hadits dengan judul "Hadits Maudhu'"
Semoga bermanfaat buat pembaca..
MAKALAH HADITS
HADITS MAUDHU’
Oleh
Kelompok 5
NI UMMU KULSUM (1501030363)
LAILA MARJANI (1501030388)
AMISA TUSYIFAK (1501030386)
TITIK HERNAWATI (1501030368)
KIKI LESTARI (1501030374)
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul " Hadits Maudhu’ ", shalawat serta salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun penyusunan makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits.Penulis menyadari penyusunan
makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang
membangun senantiasa penyusun harapkan guna perbaikan dimasa mendatang.
Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya penyusun ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini bemanfaat bagi penulis khususnya dan anda yang membaca makalah ini.
Mataram,
4 April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................
i
DAFTAR ISI.............................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................
1
A. Latar Belakang............................................................................. 1B. Rumusan Masalah........................................................................ 2C. Tujuan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................
3
A.
Pengertian Hadits Maudhu’.........................................................
3
B.
Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’........................... 4
C.
Perbedaan antara hadits maudhu’ dengan beberapa hadits
Dha’if.............................................................................................
5
D.
Ciri-ciri hadits Maudhu’..............................................................
5
E.
Status Hadits Maidhu’..................................................................
6
F.
Tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’........................................
7
G.
Status Periwayatan Hadits Maudhu’..........................................
7
H.
Metode Periwayatan Hadits Maudu’..........................................
9
I.
Contoh Hadits Maudhu’............................................................
10
J.
Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadits
Maudhu’......................................................................................
12
K.
Para Pendusta dan Kitab-kitab Hadits Maudhu’.................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................... 15
A. Kesimpulan.................................................................................. 15B. Saran............................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukam Islam paling pokok. Akan tetapi tanpa
Hadits umat Islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum
yang terkandung didalam Al-Qur’an secara mendalam. Ini menujukkan hadits
menduduki posisi yang sangat penting juga didalam sumber hukum Islam. Dan
sesungguhnya pun Hadist mempunyai fungsi dan kedudukan begiti besar, namun
Hadist tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi
dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq. Hadist baru ditulis dan
dibikukan pada masa khalifah Umar ibn ’Abd Al-Aziz (Abad ke-2).
Hadist Maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk dikatakan sebuah hadist,
karena sudah jelas bukan hadist yang disandarkan pada Nabi Saw. Berbeda dengan
hadist dha’if yang diperkirakan masih ada kemungkinan isstishal pada
Nabi. Hadist maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuaannya sadangkan hadist
dha’if belum jelas (samar-samar).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits maudhu’?2. Bagaimana sejarah dan perkembangan hadits maudhu’?3. Apa perbedaan hadits maudhu’ dengan hadits maudhu’?4. Apa ciri-ciri hadits maudhu’?5. Bagaimana status hadits maudhu’?6. Bagaimana tingkatan-tingkatan dalam hadits maudhu’?7. Bagaimana status periwayatan hadits maudhu’?8. Apa metode yang digunakan dalam pembuatan hadits maudhu’?9. Apa saja contoh dari hadits maudhu’?10. Apa saja upaya yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadits maudhu’?11. Siapa saja para pendusta hadits maudhu’ dan apa saja kitab-kitab hadis maudhu’?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu.2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan hadits maudhu’.3. Untuk mengetahui perbedaan hadits maudhu’ dengan hadits dha’if.4. Untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu’.5. Untuk mengetahui status hadits maudhu’.6. Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalam hadits maudhu’.7. Untuk mengetahui status periwayatan hadits maudhu’.8. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pembuatan hadits maudhu’.9. Untuk mengetahui contoh dari hadits maudhu’.10. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadits maudhu’.11. Untuk mengetahui para pendusta hadits maudhu’ dan kitab-kitab hadis maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu
Secara etimologis kata “maudhu’” berakar
kata dari kata dasar “wa dha’a” yang berarti menurunkan atau merendahkan
(derajat). Secara terminologis, hadits maudhu’ diartikan secara berbeda oleh
pada muhadditsin dengan redaksi yang berbeda, tetapi pada intinya mempunyai
kesamaan dalam hal prinsip makna yang mendasar. Beberapa rumusan pengertian
istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut;
1. Hadits
maudhu’ adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta
terhadap Rasulullah SAW., dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja.
2. Hadits
maudhu’ yaitu hadits yang diciptakan oleh para pendusta yang disandarkan kepada
Rasulullah dengan tujuan untuk memperdayai.
3. Hadits
maudhu’ yaitu hadits yang dicipta dan dibuat-buat yang dinisbahkan kepada
Rasulullah SAW., secara palsu dan dusta, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja.
Jika
penggalan kalimat dari beberapa definisi di atas dipilah-pilah tampak adanya
beberapa unsur penting dalam batasan al-maudhu’ yang saling terkait satu sama
lain. Jika salah satu unsur itu tidak ada, hal tersebut akan mengurangi batasan
kemaudhuan suatu riwayat hadits.
Beberapa
unsur penting dalam batasan definisi al-mauudhu’ adalah sebagai berikut:
1. Unsur
الوَضْعُ (pembuatan) atau (dibuat-buat). Artinya, apa
yang disebut sebagai hadits oleh rawi penyampai riwayat itu adalah hadits
“buatan” dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.
2. Unsur الكِذْبُ
(dusta) atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadits
Nabi ialah “dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan dari
Nabi. Hanya dia yang mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi.
3. Unsur
عَمْدٌ (sengaja) dan
خَطَأٌ (tidak sengaja).
Artinya, pembuatan hadits dusta yang disebut sebagai hadita Nabi itu dilakukan
dengan sengaja atau tidak disengaja.
Dari
ketiga unsur di atas, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan
hadits maudhu’ adalah dusta (kidzib). Oleh karena itu, Nabi sangat berpesan
agar menghindari dusta (kidzib) dalam meriwayatkan hadits, dan juga memberi
ancaman terhadap setiap pelaku kedustaan riwayat hadits.[1]
B. Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’
Ahmad
Yamin berpendapat bahwa gejala pendustaan sudah ada sejak Rasulullah masih
hidup. Sehingga Rasulullah bersabda yang artinya:” Barang siapa yang
mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal di neraka”.
Akan
tetapi pendapat tersebut tidak berlandasan baik dari riwayat sejarah dan siak
hadisnya pun tidak mengarah kepada hal tersebut, dan sesungguhnya rasulullah
mengeluarkan sabda itu ketika memerintahkan sahabatnya untuk menyampaikan
segala hal yang bersumber dari beliau. Dan hadis itu menunjukkan bahwa
rasulullah telah memperkirakan akan adanya pendustaan atas dirinya, sehingga
beliau memperingati sahabatnya untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima
hadist-hadist beliau.
Gejala
pendustaan hadist tidak ada pada zaman Rasul, begitupun zaman Khalifah Abu
Bakar dan Umar disebabkan karena masih banyak para pembesar sahabat dan pada
periode itu persatuan umat masih utuh . Walaupun gerakan ahli riddah membuka
jalan untuk mendustakan hadist, tapi tidak ada riwayat yang menerangkan adanya
pemalsuan hadist, kalaupun ada, tidak memungkinkan penyebaran dikalangan umat
islam, karena gerakan murtad tidak memakan waktu yang lama.
Terjadinya
perpecahan pada periode kedua dari kekhalifahan Utsman yang menyebabkan
membaranya fitnah sehingga mengakibatkan kematian Utsman, melahirkan kebencian
dan kedengkian diantara kubu-kubu perselisihan. Walaupun demikian tapi tidak
ada riwayat yang berindikasi pendustaan hadist pada masa itu. Sedangkan riwayat
Abu Tsaur al-Fahmy tentang riwayat Ibnu Udais yang mengatakan bahwa ia
mendengar Ibnu Mas’ud mendengar Rasulullah bersabda “Utsman lebih sesat dari
Abu Ubaidah,” sehingga Abu Tsur melaporkan kepada Utsman , kemudian Utsman
berkata” Abu Udais tidak mendengarnya dari Ibnu Mas’ud tidak mendengar dari
Rasulullah. Hadis tersebut dhoif dari segi sanad tidak bisa dijadikkan hujjah,
bahkan Ibnu Jauzy memastikan kepalsuan hadist tersebut.[2]
C. Perbedaan Antara Hadis Maudhu dengan Beberapa Hadis
Dhoif
1.
Perbedaan hadis
maudhu dengan hadis muadallas
Hadis maudhu adalah bukan hadis rasul
dan perawinya membohongi pada sanad dan matan, sedangkan al muadallas
memalsukan isanad atau nama syiekh dalam sanad, tidak pada matannya.
2. Hadis
maudhu dengan hadis mudarroj:
Hadis mudarroj adalah hadist yang masuk
didalamnya sanad atau matan yang bukan bagian dari sanad atau matan hadist.
Yang berarti hanya ada sebagian kata yang bukan bagian dari hadist Nabi tanpa
disengaja atau diketahui oleh murid yang menukil hadis tersebut.
Sedangkan hadist maudhu terjadi
kebohongan pada sanad dan matan dengan kesengajaan kitab Ibnu Jauzy al-ahadist
al-Maudhu’ah banyak menghukumkan hadist mudarroj sebagai hadis maudhu.
3. Hubungannya
dengan Riwayat Israilliyat
Israilliyat adalah riwayat-riwayat yang
bersumber dari Bani Israil dan sebagian mufasir dan Muhaddis memperluas
pengertian tersebut sehingga mencangkup riwayat maudhu’ (yang tidak punya
sumber) dan riwayat yang bersumber dari kitab-kitab Yahudi dan Nasrani. Hadist
maudhu’ tidak terbatas pada kisah saja tapi juga pada aqidah dan akhlaq
dan hukum Halal dan haram.[3]
D.
Ciri-Ciri Hadits Maudhu’
1.
Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad:
a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta)
b. Pengakuan dari si pembuat sendiri
c. Kenyataan sejarah mereka tidak mungkin bertemu, misalnya
ada pengakuan dari seorang rawi bahwa ia menerima hadist dari seorang guru,
padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau lahir sesudah guru
tersebut meninggal.
d. Keadaan rawi dan factor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’.
2. Ciri-ciri yang Terdapat pada
Matan
a. Keburukan susunan lafazhnya
b. Kerusakan maknanya.
3. Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada rawinya
a.
Mengakui telah
memalsukan hadis, seprti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan Maisarah bin ‘Abdi
Rabbih.
b.
Tidak sesuai
dengan fakta sejarah, sperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin Ahmad yang
menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadis dari Abu Hurairah sehubungan dengan
adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalahini.
c.
Ada
gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang besangkutan.
4. Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada Matan
a. Kerancuan redaksi atau makna hadis
b. Setelah diadakan penelitian terhdap suatu hadis ternyata
menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hafalan para rawidan tidak terdapat
dalam kitab-kitab hadis, setelah penelitiandan pembukuan hadis sempurna
c. Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan
E. Status Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan status hadits maudhu’ apakah merupakan bagian dari hadits atau bukan.
Pertentangan pendapat ini sangat berkaitan erat dengan definisi hadits maudhu’
yang dirumuskan olehpara ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadits yang mengandung
unsur yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.
Dengan adanya unsure dibuat-buat, dusta,
dan disengaja, para muhaddisin yang menolak hadits maudhu’, mempersoalkan
apakah hadits maudhu’ layak dikategorikan sebagai hadits. Dalam hal ini
terdapat dua pandangan.
Kelompok pertama, yang diwakili oleh
Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadits maudhu’
merupakan bagian dari hadits dhaif. Hanya saja, posisi tingkatan kedhaifannya
berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak
nilainya.
Kelompok kedua, diwakili oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, berpendapat bahwa hadits maudhu’ bukan termasuk hadits Nabi. Hal
ini karena pada dasarnya, hadits Nabi adalah segala apa yang berasal dari Nabi,
baik berupa ucapan, perbuatan, atau pun ketetapan, sedangkan hadits maudhu’,
bukan sesuatu atau yang berasal dari Nabi, melainkan ucapan, perbuatan, atau
sikap yang berasal dari seseorang, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal dari
Nabi.[5]
F. Tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’
Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadits maudhu’
mempunyai tiga tingkatan:
1. Hadits
maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para muhaddisin.
Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat di dalam
bentuk periwayatannya, yaitu berdasarkan pengakuan rawi atau hasil pengujian
dari beberapa aspek.
2. Hadits
maudhu yang nilai kemaudhuannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan mayoritas
ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara sebagian ulama lain
menilai hadits itu bukan maudhu tetapi hadits yang di antara keshahihannya ada
yang gugur aja.
3. Hadits
maudhu yang nilai kemaudhuannya diperselisihkan para muhaddisin. Jumhur ulama
menila hadits seperti ini sebagai hadits yang diduga maudhu. Sebagian
muhaddisin lain menilai sebagai hadits yang dusta.[6]
G. Status Periwayatan Hadits Maudhu
Pembahasan tentang status periwayatan
hadits maudhu’ mencakup lima pembahasan, yaitu:
1. Status
perbuatan membuat-buat hadits (الوَضْعِ فِي الحَدِيثِ حُكمُ )
Di
kalangan muhaddisin, terdapat beberapa pendapat:
a. Jumhur
ulama berpendapar bahwa membuat-buat hadits Nabi adalah dilarang secara mutlak.
b. Sebagian
ulama berpendapat bahwa boleh melakukan usaha membuat-buat hadits Nabi, dengan
syarat atas dasar kepentingan karena Allah. Di antara para pendukung pandangan
kedua ini adalah Abu Ishmah Nuh Ibn Abi Maryam, Maisarah Ibn Abdi Rabbih.
c. Kelompok
Karamiyah membolehkan membuat-buat hadits Nabi dengan syarat jika kandungannya
hanya terbatas pada pemberian berita baik dan pemberian berita buruk.
d. Sebagian
ulama lain membolehkan segala bentuk penyandaran ungkapan yang baik-baik kepada
Nabi Muhammad dalam bentuk pembuatan hadits sepanjang isinya berupa yang
baik-baik.
2. Status
berdusta terhadap Rasulullah ( حُكْمُ الكِذْبِ عَلَى رَسُولِ اللهِ )
Jumhur ulama bersepakat bahwa
berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad secara sengaja termasuk dosa besar, karena
itulah Nabi Muhammad memberi ancaman keras kepada setiap orang yang berusaha
berbuat dusta kepada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bentuk dan
keadaan bagaimana pun, berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad adalah dilarang.
3. Status
Pembuat Dusta terhadap Rasulullah ( الكَاذِبِ عَلَى رَسُولُ اللهِحُكْمُ )
Jumhur ulama sepakat bahwa pembuat
dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. secara sengaja adalah pembuat dosa besar.
Sebagaimana ditunjukkan secara tegas oleh Nabi Muhammad SAW. dengan sanksi dan
ancaman yang berat bagi pembuat dusta terhadap dirinya.
Mengenai bentuk sanksi ini, para
ulama berbeda pendapat. Ayah Imam Haramain dan muridnya menetapkan bahwa
pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir, keluar dari agama
Islam, dan halal darahnya. Adapun jumhur ulama an Imam Haramain tidak sepakat
dengan pendapat bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir.
4. Status
riwayat hadits maudhu ( رِوَايَهِ الحَدِيثِ المَوضُوعِ حُكْمُ )
Dalam
meriwayatkan hadits maudhu, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
status:
a. Abu
Sa’id Muhammad Al-Hazimi membaginya atas tiga status:
1) Tidak
boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang riwayat.
2) Boleh
meriwayatkan hadits maudhu tentang hukum-hukum dengan syarat dia mengetahui
kemaudhuan hadits itu.
3) Boleh
secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang fadha’il al-a’mal, baik dia
mengetahui atau tidak mengetahui kemaudhuan hadits itu.
b. Imam
Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam An-Nawawi, dan Al-Qadhi Iyadh melarang secra mutlak
meriwayatkan hadits-hadits buatan atau maudhu, sebagaimana telah diperingatkan
dan diancam oleh Nabi dalam melakukan terhadap diri Nabi.
5. Status
pengamalan hadits maudhu ( العَمَلِ بِا الحَدِيثِ المَوضُوعِحُكْمُ )
Dalam pengamalan hadits maudhu,
para muhaddisin sepakat bahwa hadits maudhu tidak dapat diamalkan dan tidak
dapat dijadikan pedoman hujjah secara mutlak. Pemikiran jumhur muhaddisin yang
menetapkan keharaman meriwayatkan hadits maudhu jelas membawa implikasi logis
bahwa mengamalkan hadits maudhu pun menjadi haram. Bahkan, Imam Zaid Ibn Aslam
lebih keras lagi menyejajarkan orang yang mengamalkan hadits-hadits maudhu
dengan pelayan setan.[7]
H. Metode Periwayatan Hadits Maudhu’
Ada dua metode dalam proses pembentukan
atau pembuatan hadits maudhu’ yang dilakukan oleh pembuatnya, yaitu sebagai
berikut:
1. Dibentuk
dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian menyandarkan ucapan itu kepada
Nabi Muhammad SAW., disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan,
perbuatan, atau ketetapan Nabi. Hal ini terlihat dalam pengakuan rawi
pembuatnya sendiri. Seperti riwayat berikut:
وَ
رَ وَ ى البُخَارِ فِي التَّارِيخِ الأَوْسَطِ عَنْ عُمَرَ بْنِ صَبْحِ بْنِ
عَمْرَانَ التَّمِيْمِى أنَّهُ قَالَ : أَنَا وَ ضَعْتُ خُطْبَةَ النَّبِيِّ
ص.م.
Artinya:
“Imam
Bukhari mengemukakan riwayat di dalam kitabnya At-Tarikh Al-Ausath yang berasal
dari Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi. Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi
mengatakan, “Saya memang telah membuat khotbah Nabi Muhammad SAW.”
2. Dibentuk
dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari sahabat, thabi’in,
para hakim, atau riwayat Israiliyah, atau lainnya, kemudian disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW., dibuatkan sanadnya sampai nampak seperti berasal dari Nabi
Muhammad SAW., sehingga menjadi musnad atau marfu.
Cara pembentukan ini seperti
riwayat berikut:
النَّاسُ
بِزَمَانِهِمْ أَشْبَهَ مِنْهُمْ بِأبَائِهِم.
Artinya:
“Dalam
zaman masyarakat tertentu, sebagian mereka menyerupai generasi para pendahulunya.”
Imam
Al-Malla Ali Al-Qari mengungkapkan bahwa menurut sebagian pendapat, ungkapan
itu adalah pernyataan Umar Ibn Al-Khaththab. Sebagian pendapat lain, pernyataan
itu adalah pernyataan Ali Ibn Abi Thalib.[8]
I. Contoh Hadits Maudhu’
1. كَانَ رَسُولُ الله يَأكُلُ العِنَبَ
خَرْطا
Artinya:
“Rasulullah SAW. memakan buah anggur dengan memetik dari pohonnya.”
Hadits ini maudhu’. Telah
diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil fit-Tarikh I/280 dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah, kemudian
berkata, ”Umumnya riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak memperhatikan sanad
serta matannya.”
Adapun Ibnul
Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad dari ibnu Adi sambil
berkata, ”Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh Daru Quthni, sedangkan (Kadih
adalah pendusta dan Husain bukan perawi tsiqah.[9]
2.
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَ لَمْ يَزُرْنِيْ
فَقَدْ جَفَانِ ...
Artinya:
“ Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku berarti
ia telah menjauhiku.”
Ini hadits maudhu’. Hal ini telah
ditegaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan III/237, juga oleh
ash-Shaghani dalam kitab al-Ahadits al-Maudhu’iyyah halaman 46. Yang
menunjukkan riwayat tersebut maudhu’ adalah bahwa menjauhi dan menyimpang dari
ajaran Rasulullah SAW. adalah dosa besar. Kalau tidak, termasuk kafir. Dengan
demikian, berarti makna hadits tersebut siapa saja yang dengan sengaja
meninggalkan atau tidak pergi berziarah ke makam Rasulullah SAW., berarti telah
melakukan perbuatan dosa besar. Dengan demikian, berarti pula ziarah adalah
wajib seperti ibadah haji. Barangkali tidak seorang pun kaum mukmin yang
berpendapat demikian. Sekipun ziarah ke makan Rasulullah adalah suatu amalan
yang baik, hal itu tidak lebih dari amalan yang mustahab.[10]
3.
مَنْ زَارَنِي
وَ زَارَاَبِيْ اِبْرَاهِيمَ فِي عَامِ وَاحِدِ دَخَلَ الجَنَّةَ
Artinya:
“ Barang siapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam satu tahun, ia
masuk surga.”
Ini hadits maudhu’. Az-Zarkasyi
dalam kitab al-La’ali al-Mantsurah menyatakan, “Hadits tersebut maudhu’ dan tak
seorang pun pakar hadits yang meriwayatkannya.” Bahkan oleh Ibnu Taimiyah dan
Imam Nawawi dinyatakan maidhu’ dan tak ada sumbernya.[11]
4.
ا
بِالْعَقِيْقِ فَاِنَّهُ مُبَارَكٌ تَخَتَّمُو
Artinya:
“ Pakailah cincin dengan batu akik karena batu akik itu diberkati.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan
oleh al-Muhamli dalam kitab al-Amali II/41, al-Katib dalam Tarikh Baghdad
XI/251 dan juga al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa halaman 466 dengan sanad Ya’kub bin
al-Walid al-Madani, sedangkan Ibnu Adi I/356 dengan sanad dari Ya’kub Bin
Ibrahim az-Zuhri yang semuanya dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah
r.a.
Dari sanad Uqaili dalam kitab
al-Maudhu’at Ibnu Jauzi menyebutkan, “ Ya’kub adalah pendusta dan pemalsu”.
Uqaili sendiri berkata, “Dalam hal ini tidak terbukti keshahihannay bersumber
dari Rasulullah SAW.[12]
5. كُلُوا التَّمْرَ عَلَى الرِّيْقِ
فَاِنَّهُ يَقْتُلُ الدُّوْد
Artinya:
“ Makanlah kurma sebelum makan atau minum setelah bangun tidur kerena hal itu
dapat mematikan cacing.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan
oleh Abu Bakar asy-Syafii dalam al-Fawa’id I/106 dan oleh Ibnu Adi II/258 dengan sanad dari Ishmah bin Muhammad, dari Musa bin Uqbah, dari Kuraib,
dari Ibnu Abbas r.a.
Ibnu Adi
berkata, ”seluruh riwayat Ishmah bin Muhammad tidak terjaga dan semuanya
munkar.” Ibnu Jauzi menempatkan riwayat ini dalam al-Maudhu’at dengan berkata,
”Hadits ini tidak shahih, dan Ishmah itu pendusta.”[13]
J. Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadis Maudhu’
[14]Ada
beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu’,
dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan
tangan orang-orang kotor. Disamping agar jelas posisi hadis maudhu’ tidak
tercampur dengan hadis-hadis shahih dari Rasulullah. Di antara usaha-usaha
tersebut sebagai berikut.
1. Memelihara
sanad hadis
Dalam
rangka memelihara sunnah, siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus
disertai dengan sanad. Jika tidak disertai sanad, maka suatu hadis tidak dapat
tidak diterima. Muhammad bin sirin mengatakan, para ulama semula tidak bertanya
tentang sanad sunnah. Akan tetapi, setelah terjadi pemalsuan hadis, mereka pun
berkata kepada yang meriwayatkannya: “Sebutkan kepada kami para perawinya.”
Maka jika mereka memang ahli sunnah, diambil sunnah hadisnya dan jika dilihat
ahli bid’ah, tidak diambil hadisnya.
Abdullah
bin Al-Mubarak berkata:
Perumpamaan orang yang mencari
agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga.datang
Keharusan
sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat
umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai
berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis
menerangkan sanad hadis yang ia riwayatkan.
2. Meningkatkan
kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in,
mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar
atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu
meragukan, atau bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan
hadis, segera mereka mengadakan rihlah ( perjalanan ), sekalipun dalam jarak
jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat
dalam kejadian hadis. Mereka saling mengingatkan dan bermudzakarah bersama
sahabat lain agar tidak melupakan hadis dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
3. Mengisolir
Para Pendusta Hadis
Para ulama berhati-hati dalam
menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta
hadis dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan darinya. Semua ahli ilmu juga
menyampaikan hadis-hadis maudu’ dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar
mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis daripadanya.
Diantara ulama yang terkenal menentang
para pembuat maudu’ adalah para Asy-Sya’bi ( w. 103 H ), Syu’bah bin Al-hajjaj(
w. 160 H ), Sufyan Ats-Tsauri ( w. 161 H ), Abdullah bin Al-Mubarak ( w. 181 H
), Abdurrahman bin Al-Mahdi ( w. 198 H ), dan lain-lain.
4. Menerangkan
Keadaan para Perawi
Dalam membasmi hadis maudhu’, para
ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan, baik dari mulai lahir hingga
wafat ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil,
dan andal daya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadis
shahih dan mana yang tidak shahih, mana hadis yang sesungguhnya dan yang
dipalsukan. Hasil karya penelitian mereka dihimpun dalam buku Rijal Al-hadis
dan Al-Jarh wa at-Ta’dil sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi ke generasi
berikutnya.
5. Memberikan
Kaidah-Kaidah Hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar
atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian hadis untuk
menganalisis otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan,
dha’if, dan maudu’. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penelitian suatu
hadis apakah suatu hadis memenuhi kriteria sebagai hadis yang diterima atau
tertolak.[15]
K. Para Pendusta dan Kitab-kitab Hadis Maudu’
1. Para
pendusta dalam Hadis
Diantar
para pendusta hadis yang diketahui setelah penelitian yang dilakukan oleh para
ulama, yaitu sebagai berikut.
a. Aban
bin Ja’far An-numaiqi, membuat 300 buah hadis yang disandarkan kepada Abu
hanifah.
b. Ibrahim
bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik.
c. Ahmad
bin Abdullah Al-Juaini, juga membuat beribu-ribu hadis untuk kepentingan
kelompok Al-Karramiyah.
d. Jabir
bin Zaid Al-Jua’fi, membuat 30.000 buah hadis.
e. Nuh
bin Abu Maryam membuat hadis maudu’ tentang fadhail surah-surah dalam
Al-qur’an.
f. Muhammad
bin Syuja’ Al-Wasithi, Al-harits bin Abdullah Al-A’war, Muqatil bin sulaiman,
Muhammad bin Said Al-Mashlub, Al-waqidi, dan Ibnu Abu Yahya.
2. Kitab-kitab
tafsir
Kitab-kitab
tafsir yang terdapat banyak hadis maudu’, antara lain, Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi,
Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi, dan Asy-Syaukani.
3. Kitab-kitab
maudu’ yang terkenal
Di
antara kitab-kitab yang membuat hadis maudu’ adalah sebagai berikut.
a. Tadzkirhah
Al-Maudu’at, karya Abu Al-Fadhal Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi ( 448-507 H ),
kitab ini menyebutkan hadist secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang
dinilai secara cacat ( tajrih ).
b. Al-Maudu’at
Al-kubra, karya Abu Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzi ( 508-597 ) 4 jilid.
c. Al-La’ali
Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudu’ah, karya Jalaluddin As-Suyuthi ( 725-911 H
).
d. Al-Ba’its
‘ala Al-Khalash min Hawadits Al-Qashash, karya Zainuddin Abdurrahim Al-Iraqi (
725-806 H ).
e. Al-Fawa’id
Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudu’ah, karya Al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin
Ali Asy-Syaukani ( 1173-1255 ).[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah hadits yang
dibuat-buat(palsu), baik untuk kepentingan individu atau kelompok, bukan
didasarkan kepada perkataan atau perbuatan atau takrir Rasulullah saw.
Terjadinya hadits maudhu’
dalam sejarah muncul terjadi konflik antara faktor politik dan antara dua
pendukung Ali dan Mu’awiyah, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok yaitu,
Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin atau Sunni. Masing-masing mengklaim bahwa
kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin
mempertahankan kelompoknya dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dan
cara mencari dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
Jika tidak didapatkan ayat atau hadits yang mendukung
kelompoknya, mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan interpretasikan yang
terkadang tidak layak. Padahal sudah sangat jelas bahwa Hukum meriwayatka Hadits
Maudhu’ (palsu) sangat Haram. Karena
perbuatan tersebut termaksud perbuatan dusta atau pembohong.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Majid Khon, Abdul.
2015. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH
Najib, Muhammad. 2001. Pergolakan
Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu’. Bandung: CV Pustaka
Setia
Nashiruddin Al-Albani,
Muhammad. 1994. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’. Jakarta: Gema Insani
Press
Sulaiman, M. Nor. 2009.
Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press
Syauqani, Syamsu. 2011.
Hadits dalam Perspektif Keilmuan. Lombok Barat, NTB: Elhikam Press
Lombok
[1]
Mohammad Najib, PERGOLAKAN POLITIK UMAT ISLAM DALAM KEMUNCULAN HADIS MAUDHU,(Bandung:
Cv. Pustaka Setia, 2001), h. 37-41
[2] H.
Syamsu Syauqani, Hadits dalam Perspektif Keilmuan, ( Lombok Barat, NTB: Elhikam
Press Lombok, 2011), hlm. 101
[3] Ibid.
hlm. 100
[4] M.
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2009), hlm. 189
[5]
Mohammad Najib. Op.Cit. hml. 46-47
[6]
Ibid hlm. 48
[7]
Ibid hlm. 52-57
[8]
Ibid hlm. 57-59
[9]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’,(Jakarta:
Gema Insani Press, 1994) hlm. 106
[10] Ibid.
hlm. 61
[12] Ibid.
hlm.196
[13] Ibid.
hlm.200
[15]
Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm. 242-244
[16] Ibid
hlm. 244-245
No comments:
Post a Comment