This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tuesday, December 27, 2016

Rumus Sinus Jumlah dan Selisih Dua Sudut

Rumus Sinus Jumlah dan Selisih Dua Sudut

*        Rumus Sinus Jumlah Dua Sudut
            Untuk mendapatkan rumus sin (a+b), dapat dicari dengan menggunakan rumus sudut berelasi, dan rumus cosinus selisih dua sudut yakni:
Sin (90o a) = cos a    dan cos (900a) = sin a
Cos (90oa) = cos a cos b + sin a sin b

            Dengan menggunakan rumus di atas, didapatkan:
Sin (a + b)       = cos {90o – (a + b)}
                        = cos {(90oa) – b}
                        = cos (90oa) cos b + sin (90oa) sin b
                        = sin a cos b + cos a sin b
Sehingga didapat:
Sin (a + b) = sin a cos b + cos a sin b
Contoh soal:
·         Tentukan nilai dari sin 75o!
Jawab:
Sin 75o       = sin (45o + 30o)
                  = sin 45o cos 30o + cos 45o sin 30o
                  = ½  . ½  + ½  + ½
                  = ¼  + ¼
                  = ¼ (  + )
Jadi, sin 75o = ¼ (  + )

*        Rumus Sinus Selisih Dua Sudut
            Dengan mengganti b menjadi –b ke dalam rumus sinus selisih dua sudut, maka didapat:
Sin (a + b) = sin a cos b + cos a sin b
Sin {a + (-b)}  = sin a cos (-b) + cos a sin (-b)
Sin (ab)       = sin a cos b – cos a sin b
Sehingga didapat:
Sin (ab)       = sin a cos b – cos a sin b
Contoh soal:
·         Hitunglah nilai dari sin 15o!
Jawab:
Sin 15o       = sin (60o – 45o)
                  = sin 60o cos 45o – cos 60o sin 45o
                  = ½  . ½  - ½ . ½
                  = ¼  - ¼
                  = ¼ (   - )
Jadi, sin 15o = ¼ (   - )

Monday, December 26, 2016

Hadits Maudhu'

Berikut ini adalah contoh makalah hadits dengan judul "Hadits Maudhu'"
Semoga bermanfaat buat pembaca.. 



MAKALAH HADITS
HADITS MAUDHU’

Oleh

Kelompok 5

NI UMMU KULSUM (1501030363)
LAILA MARJANI (1501030388)
AMISA TUSYIFAK (1501030386)
TITIK HERNAWATI (1501030368)
KIKI LESTARI (1501030374)


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
MATARAM
2016



KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul " Hadits Maudhu’ ", shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun penyusunan makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits.Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang membangun senantiasa penyusun harapkan guna perbaikan dimasa mendatang.
          Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penyusun ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penyusunan makalah ini.
          Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bemanfaat bagi penulis khususnya dan anda yang membaca makalah ini.
                                                                                      
                                                                           Mataram, 4 April 2016

                                                                                       Penulis


  
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A.    Latar Belakang............................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................ 2
C.    Tujuan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 3
A.    Pengertian Hadits Maudhu’......................................................... 3
B.     Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’........................... 4
C.    Perbedaan antara hadits maudhu’ dengan beberapa hadits
Dha’if............................................................................................. 5
D.    Ciri-ciri hadits Maudhu’.............................................................. 5
E.     Status Hadits Maidhu’.................................................................. 6
F.     Tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’........................................ 7
G.    Status Periwayatan Hadits Maudhu’.......................................... 7
H.    Metode Periwayatan Hadits Maudu’.......................................... 9
I.       Contoh Hadits Maudhu’............................................................ 10
J.      Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadits
Maudhu’...................................................................................... 12
K.    Para Pendusta dan Kitab-kitab Hadits Maudhu’.................... 14
BAB III PENUTUP...............................................................................   15
A.    Kesimpulan.................................................................................. 15
B.     Saran............................................................................................ 15





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukam Islam paling pokok. Akan tetapi tanpa Hadits umat Islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur’an secara mendalam. Ini menujukkan hadits menduduki posisi yang sangat penting juga didalam sumber hukum Islam. Dan sesungguhnya pun Hadist mempunyai fungsi dan kedudukan begiti besar, namun Hadist tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq. Hadist baru ditulis dan dibikukan pada masa khalifah Umar ibn ’Abd Al-Aziz (Abad ke-2).
Hadist Maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk dikatakan sebuah hadist, karena sudah jelas bukan hadist yang disandarkan pada Nabi Saw. Berbeda dengan hadist dha’if yang diperkirakan masih ada kemungkinan isstishal pada Nabi. Hadist maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuaannya sadangkan hadist dha’if belum jelas (samar-samar).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits maudhu’?
2.      Bagaimana sejarah dan perkembangan hadits maudhu’?
3.      Apa perbedaan hadits maudhu’ dengan hadits maudhu’?
4.      Apa ciri-ciri hadits maudhu’?
5.      Bagaimana status hadits maudhu’?
6.      Bagaimana tingkatan-tingkatan dalam hadits maudhu’?
7.      Bagaimana status periwayatan hadits maudhu’?
8.      Apa metode yang digunakan dalam pembuatan hadits maudhu’?
9.      Apa saja contoh dari hadits maudhu’?
10.  Apa saja upaya yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadits maudhu’?
11.  Siapa saja para pendusta hadits maudhu’ dan apa saja kitab-kitab hadis maudhu’?


C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu.
2.      Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan hadits maudhu’.
3.      Untuk mengetahui perbedaan hadits maudhu’ dengan hadits dha’if.
4.      Untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu’.
5.      Untuk mengetahui status hadits maudhu’.
6.      Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalam hadits maudhu’.
7.      Untuk mengetahui status periwayatan hadits maudhu’.
8.      Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pembuatan hadits maudhu’.
9.      Untuk mengetahui contoh dari hadits maudhu’.
10.  Untuk mengetahui upaya yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadits maudhu’.
11.  Untuk mengetahui para pendusta hadits maudhu’ dan  kitab-kitab hadis maudhu’.


 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Maudhu
Secara etimologis kata “maudhu’” berakar kata dari kata dasar “wa dha’a” yang berarti menurunkan atau merendahkan (derajat). Secara terminologis, hadits maudhu’ diartikan secara berbeda oleh pada muhadditsin dengan redaksi yang berbeda, tetapi pada intinya mempunyai kesamaan dalam hal prinsip makna yang mendasar. Beberapa rumusan pengertian istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut;
1.      Hadits maudhu’ adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap Rasulullah SAW., dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja.
2.      Hadits maudhu’ yaitu hadits yang diciptakan oleh para pendusta yang disandarkan kepada Rasulullah dengan tujuan untuk memperdayai.
3.      Hadits maudhu’ yaitu hadits yang dicipta dan dibuat-buat yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW., secara palsu dan dusta, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja.
Jika penggalan kalimat dari beberapa definisi di atas dipilah-pilah tampak adanya beberapa unsur penting dalam batasan al-maudhu’ yang saling terkait satu sama lain. Jika salah satu unsur itu tidak ada, hal tersebut akan mengurangi batasan kemaudhuan suatu riwayat hadits.
Beberapa unsur penting dalam batasan definisi al-mauudhu’ adalah sebagai berikut:
1.      Unsur  الوَضْعُ  (pembuatan) atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai hadits oleh rawi penyampai riwayat itu adalah hadits “buatan” dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.
2.      Unsur  الكِذْبُ  (dusta) atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadits Nabi ialah “dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan dari Nabi. Hanya dia yang mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi.
3.      Unsur  عَمْدٌ  (sengaja) dan  خَطَأٌ  (tidak sengaja). Artinya, pembuatan hadits dusta yang disebut sebagai hadita Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja.
Dari ketiga unsur di atas, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadits maudhu’ adalah dusta (kidzib). Oleh karena itu, Nabi sangat berpesan agar menghindari dusta (kidzib) dalam meriwayatkan hadits, dan juga memberi ancaman terhadap setiap pelaku kedustaan riwayat hadits.[1]
B.     Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’
Ahmad Yamin berpendapat bahwa gejala pendustaan sudah ada sejak Rasulullah masih hidup. Sehingga Rasulullah bersabda yang artinya:” Barang siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal di neraka”.
Akan tetapi pendapat tersebut tidak berlandasan baik dari riwayat sejarah dan siak hadisnya pun tidak mengarah kepada hal tersebut, dan sesungguhnya rasulullah mengeluarkan sabda itu ketika memerintahkan sahabatnya untuk menyampaikan segala hal yang bersumber dari beliau. Dan hadis itu menunjukkan bahwa rasulullah telah memperkirakan akan adanya pendustaan atas dirinya, sehingga beliau memperingati sahabatnya untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima hadist-hadist beliau.
Gejala pendustaan hadist tidak ada pada zaman Rasul, begitupun zaman Khalifah Abu Bakar dan Umar disebabkan karena masih banyak para pembesar sahabat dan pada periode itu persatuan umat masih utuh . Walaupun gerakan ahli riddah membuka jalan untuk mendustakan hadist, tapi tidak ada riwayat yang menerangkan adanya pemalsuan hadist, kalaupun ada, tidak memungkinkan penyebaran dikalangan umat islam, karena gerakan murtad tidak memakan waktu yang lama.
Terjadinya perpecahan pada periode kedua dari kekhalifahan Utsman yang menyebabkan membaranya fitnah sehingga mengakibatkan kematian Utsman, melahirkan kebencian dan kedengkian diantara kubu-kubu perselisihan. Walaupun demikian tapi tidak ada riwayat yang berindikasi pendustaan hadist pada masa itu. Sedangkan riwayat Abu Tsaur al-Fahmy tentang riwayat Ibnu Udais yang mengatakan bahwa ia mendengar Ibnu Mas’ud mendengar Rasulullah bersabda “Utsman lebih sesat dari Abu Ubaidah,” sehingga Abu Tsur melaporkan kepada Utsman , kemudian Utsman berkata” Abu Udais tidak mendengarnya dari Ibnu Mas’ud tidak mendengar dari Rasulullah. Hadis tersebut dhoif dari segi sanad tidak bisa dijadikkan hujjah, bahkan Ibnu Jauzy memastikan kepalsuan hadist tersebut.[2]
C.    Perbedaan Antara Hadis Maudhu dengan Beberapa Hadis Dhoif
1.      Perbedaan hadis maudhu dengan hadis muadallas
Hadis maudhu adalah bukan hadis rasul dan perawinya membohongi pada sanad dan matan, sedangkan al muadallas memalsukan isanad atau nama syiekh dalam sanad, tidak pada matannya.
2.      Hadis maudhu dengan hadis mudarroj:
Hadis mudarroj adalah hadist yang masuk didalamnya sanad atau matan yang bukan bagian dari sanad atau matan hadist. Yang berarti hanya ada sebagian kata yang bukan bagian dari hadist Nabi tanpa disengaja atau diketahui oleh murid yang menukil hadis tersebut.
Sedangkan hadist maudhu terjadi kebohongan pada sanad dan matan dengan kesengajaan kitab Ibnu Jauzy al-ahadist al-Maudhu’ah banyak menghukumkan hadist mudarroj sebagai hadis maudhu.
3.      Hubungannya dengan Riwayat Israilliyat
Israilliyat adalah riwayat-riwayat yang bersumber dari Bani Israil dan sebagian mufasir dan Muhaddis memperluas pengertian tersebut sehingga mencangkup riwayat maudhu’ (yang tidak punya sumber) dan riwayat yang bersumber dari kitab-kitab Yahudi dan Nasrani. Hadist maudhu’ tidak terbatas pada kisah saja tapi juga pada aqidah dan akhlaq dan  hukum Halal dan haram.[3]

D.    Ciri-Ciri Hadits Maudhu’
1.      Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad:
a.       Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta)
b.      Pengakuan dari si pembuat sendiri
c.       Kenyataan sejarah mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang rawi bahwa ia menerima hadist dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau lahir sesudah guru tersebut meninggal.
d.      Keadaan rawi dan factor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’.
2.    Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan
a.       Keburukan susunan lafazhnya
b.      Kerusakan maknanya.
3.    Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada rawinya
a.       Mengakui telah memalsukan hadis, seprti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan Maisarah bin ‘Abdi Rabbih.
b.      Tidak sesuai dengan fakta sejarah, sperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin Ahmad yang menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadis dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalahini.
c.       Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang besangkutan.
4.    Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada Matan
a.       Kerancuan redaksi atau makna hadis
b.      Setelah diadakan penelitian terhdap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hafalan para rawidan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, setelah penelitiandan pembukuan hadis sempurna
c.       Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
d.      Hadisnya bertentangan dengn petunjuk Al-Quran yang pasti.[4]

E.     Status Hadits Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu’ apakah merupakan bagian dari hadits atau bukan. Pertentangan pendapat ini sangat berkaitan erat dengan definisi hadits maudhu’ yang dirumuskan olehpara ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadits yang mengandung unsur yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.
Dengan adanya unsure dibuat-buat, dusta, dan disengaja, para muhaddisin yang menolak hadits maudhu’, mempersoalkan apakah hadits maudhu’ layak dikategorikan sebagai hadits. Dalam hal ini terdapat dua pandangan.
Kelompok pertama, yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif. Hanya saja, posisi tingkatan kedhaifannya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya.
Kelompok kedua, diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, berpendapat bahwa hadits maudhu’ bukan termasuk hadits Nabi. Hal ini karena pada dasarnya, hadits Nabi adalah segala apa yang berasal dari Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pun ketetapan, sedangkan hadits maudhu’, bukan sesuatu atau yang berasal dari Nabi, melainkan ucapan, perbuatan, atau sikap yang berasal dari seseorang, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal dari Nabi.[5]

F.     Tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’
Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadits maudhu’ mempunyai tiga tingkatan:
1.      Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para muhaddisin. Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat di dalam bentuk periwayatannya, yaitu berdasarkan pengakuan rawi atau hasil pengujian dari beberapa aspek.
2.      Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara sebagian ulama lain menilai hadits itu bukan maudhu tetapi hadits yang di antara keshahihannya ada yang gugur aja.
3.      Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya diperselisihkan para muhaddisin. Jumhur ulama menila hadits seperti ini sebagai hadits yang diduga maudhu. Sebagian muhaddisin lain menilai sebagai hadits yang dusta.[6]

G.    Status Periwayatan Hadits Maudhu
Pembahasan tentang status periwayatan hadits maudhu’ mencakup lima pembahasan, yaitu:
1.      Status perbuatan membuat-buat hadits (الوَضْعِ فِي الحَدِيثِ حُكمُ  )
Di kalangan muhaddisin, terdapat beberapa pendapat:
a.       Jumhur ulama berpendapar bahwa membuat-buat hadits Nabi adalah dilarang secara mutlak.
b.      Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh melakukan usaha membuat-buat hadits Nabi, dengan syarat atas dasar kepentingan karena Allah. Di antara para pendukung pandangan kedua ini adalah Abu Ishmah Nuh Ibn Abi Maryam, Maisarah Ibn Abdi Rabbih.
c.       Kelompok Karamiyah membolehkan membuat-buat hadits Nabi dengan syarat jika kandungannya hanya terbatas pada pemberian berita baik dan pemberian berita buruk.
d.      Sebagian ulama lain membolehkan segala bentuk penyandaran ungkapan yang baik-baik kepada Nabi Muhammad dalam bentuk pembuatan hadits sepanjang isinya berupa yang baik-baik.
2.      Status berdusta terhadap Rasulullah ( حُكْمُ الكِذْبِ عَلَى رَسُولِ اللهِ )
Jumhur ulama bersepakat bahwa berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad secara sengaja termasuk dosa besar, karena itulah Nabi Muhammad memberi ancaman keras kepada setiap orang yang berusaha berbuat dusta kepada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bentuk dan keadaan bagaimana pun, berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad adalah dilarang.
3.      Status Pembuat Dusta terhadap Rasulullah (  الكَاذِبِ عَلَى رَسُولُ اللهِحُكْمُ )
Jumhur ulama sepakat bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. secara sengaja adalah pembuat dosa besar. Sebagaimana ditunjukkan secara tegas oleh Nabi Muhammad SAW. dengan sanksi dan ancaman yang berat bagi pembuat dusta terhadap dirinya.
Mengenai bentuk sanksi ini, para ulama berbeda pendapat. Ayah Imam Haramain dan muridnya menetapkan bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir, keluar dari agama Islam, dan halal darahnya. Adapun jumhur ulama an Imam Haramain tidak sepakat dengan pendapat bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir.
4.      Status riwayat hadits maudhu ( رِوَايَهِ الحَدِيثِ المَوضُوعِ حُكْمُ )
Dalam meriwayatkan hadits maudhu, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status:
a.       Abu Sa’id Muhammad Al-Hazimi membaginya atas tiga status:
1)      Tidak boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang riwayat.
2)      Boleh meriwayatkan hadits maudhu tentang hukum-hukum dengan syarat dia mengetahui kemaudhuan hadits itu.
3)      Boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang fadha’il al-a’mal, baik dia mengetahui atau tidak mengetahui kemaudhuan hadits itu.
b.      Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam An-Nawawi, dan Al-Qadhi Iyadh melarang secra mutlak meriwayatkan hadits-hadits buatan atau maudhu, sebagaimana telah diperingatkan dan diancam oleh Nabi dalam melakukan terhadap diri Nabi.
5.      Status pengamalan hadits maudhu (  العَمَلِ بِا الحَدِيثِ المَوضُوعِحُكْمُ )
Dalam pengamalan hadits maudhu, para muhaddisin sepakat bahwa hadits maudhu tidak dapat diamalkan dan tidak dapat dijadikan pedoman hujjah secara mutlak. Pemikiran jumhur muhaddisin yang menetapkan keharaman meriwayatkan hadits maudhu jelas membawa implikasi logis bahwa mengamalkan hadits maudhu pun menjadi haram. Bahkan, Imam Zaid Ibn Aslam lebih keras lagi menyejajarkan orang yang mengamalkan hadits-hadits maudhu dengan pelayan setan.[7]

H.    Metode Periwayatan Hadits Maudhu’
Ada dua metode dalam proses pembentukan atau pembuatan hadits maudhu’ yang dilakukan oleh pembuatnya, yaitu sebagai berikut:
1.      Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian menyandarkan ucapan itu kepada Nabi Muhammad SAW., disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi. Hal ini terlihat dalam pengakuan rawi pembuatnya sendiri. Seperti riwayat berikut:
وَ رَ وَ ى البُخَارِ فِي التَّارِيخِ الأَوْسَطِ عَنْ عُمَرَ بْنِ صَبْحِ بْنِ عَمْرَانَ التَّمِيْمِى أنَّهُ قَالَ : أَنَا وَ ضَعْتُ خُطْبَةَ النَّبِيِّ ص.م. 
Artinya:
“Imam Bukhari mengemukakan riwayat di dalam kitabnya At-Tarikh Al-Ausath yang berasal dari Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi. Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi mengatakan, “Saya memang telah membuat khotbah Nabi Muhammad SAW.”
2.      Dibentuk dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari sahabat, thabi’in, para hakim, atau riwayat Israiliyah, atau lainnya, kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., dibuatkan sanadnya sampai nampak seperti berasal dari Nabi Muhammad SAW., sehingga menjadi musnad atau marfu.
Cara pembentukan ini seperti riwayat berikut:
النَّاسُ بِزَمَانِهِمْ أَشْبَهَ مِنْهُمْ بِأبَائِهِم.
Artinya:
“Dalam zaman masyarakat tertentu, sebagian mereka menyerupai generasi para pendahulunya.”
Imam Al-Malla Ali Al-Qari mengungkapkan bahwa menurut sebagian pendapat, ungkapan itu adalah pernyataan Umar Ibn Al-Khaththab. Sebagian pendapat lain, pernyataan itu adalah pernyataan Ali Ibn Abi Thalib.[8]

I.       Contoh Hadits Maudhu’
1.      كَانَ رَسُولُ الله يَأكُلُ العِنَبَ خَرْطا
Artinya: “Rasulullah SAW. memakan buah anggur dengan memetik dari pohonnya.”
Hadits ini maudhu’. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil fit-Tarikh I/280 dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah, kemudian berkata, ”Umumnya riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak memperhatikan sanad serta matannya.”
Adapun Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad dari ibnu Adi sambil berkata, ”Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh Daru Quthni, sedangkan (Kadih adalah pendusta dan Husain bukan perawi tsiqah.[9]
2.      مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَ لَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِ ...
Artinya: “ Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku berarti ia telah menjauhiku.”
Ini hadits maudhu’. Hal ini telah ditegaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan III/237, juga oleh ash-Shaghani dalam kitab al-Ahadits al-Maudhu’iyyah halaman 46. Yang menunjukkan riwayat tersebut maudhu’ adalah bahwa menjauhi dan menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. adalah dosa besar. Kalau tidak, termasuk kafir. Dengan demikian, berarti makna hadits tersebut siapa saja yang dengan sengaja meninggalkan atau tidak pergi berziarah ke makam Rasulullah SAW., berarti telah melakukan perbuatan dosa besar. Dengan demikian, berarti pula ziarah adalah wajib seperti ibadah haji. Barangkali tidak seorang pun kaum mukmin yang berpendapat demikian. Sekipun ziarah ke makan Rasulullah adalah suatu amalan yang baik, hal itu tidak lebih dari amalan yang mustahab.[10]
3.       مَنْ زَارَنِي وَ زَارَاَبِيْ اِبْرَاهِيمَ فِي عَامِ وَاحِدِ دَخَلَ الجَنَّةَ
Artinya: “ Barang siapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam satu tahun, ia masuk surga.”
Ini hadits maudhu’. Az-Zarkasyi dalam kitab al-La’ali al-Mantsurah menyatakan, “Hadits tersebut maudhu’ dan tak seorang pun pakar hadits yang meriwayatkannya.” Bahkan oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi dinyatakan maidhu’ dan tak ada sumbernya.[11]
4.      ا بِالْعَقِيْقِ فَاِنَّهُ مُبَارَكٌ تَخَتَّمُو
Artinya: “ Pakailah cincin dengan batu akik karena batu akik itu diberkati.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan oleh al-Muhamli dalam kitab al-Amali II/41, al-Katib dalam Tarikh Baghdad XI/251 dan juga al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa halaman 466 dengan sanad Ya’kub bin al-Walid al-Madani, sedangkan Ibnu Adi I/356 dengan sanad dari Ya’kub Bin Ibrahim az-Zuhri yang semuanya dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a.
Dari sanad Uqaili dalam kitab al-Maudhu’at Ibnu Jauzi menyebutkan, “ Ya’kub adalah pendusta dan pemalsu”. Uqaili sendiri berkata, “Dalam hal ini tidak terbukti keshahihannay bersumber dari Rasulullah SAW.[12]
5.      كُلُوا التَّمْرَ عَلَى الرِّيْقِ فَاِنَّهُ يَقْتُلُ الدُّوْد
Artinya: “ Makanlah kurma sebelum makan atau minum setelah bangun tidur kerena hal itu dapat mematikan cacing.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan oleh Abu Bakar asy-Syafii dalam al-Fawa’id I/106 dan oleh Ibnu Adi II/258 dengan sanad dari Ishmah bin Muhammad, dari Musa bin Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas r.a.
Ibnu Adi berkata, ”seluruh riwayat Ishmah bin Muhammad tidak terjaga dan semuanya munkar.” Ibnu Jauzi menempatkan riwayat ini dalam al-Maudhu’at dengan berkata, ”Hadits ini tidak shahih, dan Ishmah itu pendusta.”[13]

J.      Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadis Maudhu’
[14]Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu’, dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping agar jelas posisi hadis maudhu’ tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih dari Rasulullah. Di antara usaha-usaha tersebut sebagai berikut.
1.      Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah, siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai dengan sanad. Jika tidak disertai sanad, maka suatu hadis tidak dapat tidak diterima. Muhammad bin sirin mengatakan, para ulama semula tidak bertanya tentang sanad sunnah. Akan tetapi, setelah terjadi pemalsuan hadis, mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya: “Sebutkan kepada kami para perawinya.” Maka jika mereka memang ahli sunnah, diambil sunnah hadisnya dan jika dilihat ahli bid’ah, tidak diambil hadisnya.
Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga.datang
Keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayatkan.
2.      Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu meragukan, atau bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka mengadakan rihlah ( perjalanan ), sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis. Mereka saling mengingatkan dan bermudzakarah bersama sahabat lain agar tidak melupakan hadis dan mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
3.      Mengisolir Para Pendusta Hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan darinya. Semua ahli ilmu juga menyampaikan hadis-hadis maudu’ dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis daripadanya.
Diantara ulama yang terkenal menentang para pembuat maudu’ adalah para Asy-Sya’bi ( w. 103 H ), Syu’bah bin Al-hajjaj( w. 160 H ), Sufyan Ats-Tsauri ( w. 161 H ), Abdullah bin Al-Mubarak ( w. 181 H ), Abdurrahman bin Al-Mahdi ( w. 198 H ), dan lain-lain.
4.      Menerangkan Keadaan para Perawi
Dalam membasmi hadis maudhu’, para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan, baik dari mulai lahir hingga wafat ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan andal daya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana yang tidak shahih, mana hadis yang sesungguhnya dan yang dipalsukan. Hasil karya penelitian mereka dihimpun dalam buku Rijal Al-hadis dan Al-Jarh wa at-Ta’dil sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi ke generasi berikutnya.
5.      Memberikan Kaidah-Kaidah Hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian hadis untuk menganalisis otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan, dha’if, dan maudu’. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penelitian suatu hadis apakah suatu hadis memenuhi kriteria sebagai hadis yang diterima atau tertolak.[15]

K.    Para Pendusta dan Kitab-kitab Hadis Maudu’
1.      Para pendusta dalam Hadis
Diantar para pendusta hadis yang diketahui setelah penelitian yang dilakukan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut.
a.       Aban bin Ja’far An-numaiqi, membuat 300 buah hadis yang disandarkan kepada Abu hanifah.
b.      Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik.
c.       Ahmad bin Abdullah Al-Juaini, juga membuat beribu-ribu hadis untuk kepentingan kelompok Al-Karramiyah.
d.      Jabir bin Zaid Al-Jua’fi, membuat 30.000 buah hadis.
e.       Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudu’ tentang fadhail surah-surah dalam Al-qur’an.
f.       Muhammad bin Syuja’ Al-Wasithi, Al-harits bin Abdullah Al-A’war, Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Said Al-Mashlub, Al-waqidi, dan Ibnu Abu Yahya.
2.      Kitab-kitab tafsir
Kitab-kitab tafsir yang terdapat banyak hadis maudu’, antara lain, Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi, dan Asy-Syaukani.
3.      Kitab-kitab maudu’ yang terkenal
Di antara kitab-kitab yang membuat hadis maudu’ adalah sebagai berikut.
a.       Tadzkirhah Al-Maudu’at, karya Abu Al-Fadhal Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi ( 448-507 H ), kitab ini menyebutkan hadist secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang dinilai secara cacat ( tajrih ).
b.      Al-Maudu’at Al-kubra, karya Abu Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzi ( 508-597 ) 4 jilid.
c.       Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudu’ah, karya Jalaluddin As-Suyuthi ( 725-911 H ).
d.      Al-Ba’its ‘ala Al-Khalash min Hawadits Al-Qashash, karya Zainuddin Abdurrahim Al-Iraqi ( 725-806 H ).
e.       Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudu’ah, karya Al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani ( 1173-1255 ).[16]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat(palsu), baik untuk kepentingan individu atau kelompok, bukan didasarkan kepada perkataan atau perbuatan atau takrir Rasulullah saw.
Terjadinya hadits maudhu’ dalam sejarah muncul terjadi konflik antara faktor politik dan antara dua pendukung Ali dan Mu’awiyah, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok yaitu, Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin atau Sunni. Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin mempertahankan kelompoknya dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dan cara mencari dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
Jika tidak didapatkan ayat atau hadits yang mendukung kelompoknya, mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan interpretasikan yang terkadang tidak layak. Padahal sudah sangat jelas bahwa Hukum meriwayatka Hadits Maudhu’ (palsu) sangat Haram. Karena perbuatan tersebut termaksud perbuatan dusta atau pembohong.

B.     Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.










DAFTAR PUSTAKA

Majid Khon, Abdul. 2015. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH
Najib, Muhammad. 2001. Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu’. Bandung: CV Pustaka Setia
Nashiruddin Al-Albani, Muhammad. 1994. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’. Jakarta: Gema Insani Press
Sulaiman, M. Nor. 2009. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press
Syauqani, Syamsu. 2011. Hadits dalam Perspektif Keilmuan. Lombok Barat, NTB: Elhikam Press Lombok




[1] Mohammad Najib, PERGOLAKAN POLITIK UMAT ISLAM DALAM KEMUNCULAN HADIS MAUDHU,(Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2001),  h. 37-41
[2] H. Syamsu Syauqani, Hadits dalam Perspektif Keilmuan, ( Lombok Barat, NTB: Elhikam Press Lombok, 2011), hlm. 101
[3] Ibid. hlm. 100
[4] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hlm. 189
[5] Mohammad Najib. Op.Cit. hml. 46-47
[6] Ibid hlm. 48
[7] Ibid hlm. 52-57
[8] Ibid hlm. 57-59
[9] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’,(Jakarta: Gema Insani Press, 1994) hlm. 106
[10] Ibid. hlm. 61
[11] Ibid. hlm. 61-62
[12] Ibid. hlm.196
[13] Ibid. hlm.200

[15] Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm. 242-244
[16] Ibid hlm. 244-245