Monday, December 26, 2016

Kaidah-kaidah dalam Menafsirkan Al-Qur'an



Makalah Tafsir tentang Kaidah-kaidah dalam Menafsirkan Al-Qur'an

 
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Di dalam pandangan Islam secara umum, dapat dikatakan bahwa Ilmu Tafsir merupakan salah satu ilmu yang paling mulia dan paling baik.Hal ini dapat dipahami dari perintah Allah untuk merenungkan dan memikirkan kandungan makna-makna Al-Qur’an, serta menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk kesalamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dijadikan pedoman paling utama oleh umat Islam, baik segi ibadah, syari’ah, maupun pedoman umat Islam lainnya.Untuk itulah umat Islam diwajibkan untuk mempelajarinya agar hidupnya tidak tersesat. Namun tidak cukup mudah untuk mempelajari dan memahami isi dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa arab sehingga membutuhkan seseorang (guru) yang kompeten dibidangnya baik segi qiro’ahnya, nahwu sorobnya, tafsirnya, maupun yang lainnya.
Seseorang yang bisa menjadi mufassir harus benar-benar menguasai dalam hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran, seperti harus memiliki keperibadian  yang terpuji, benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama, di dalam hatinya tidak ada kesombongan dan cinta dunia serta gemar melakukan dosa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an
2.      Apa saja macam-macam kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an?
3.      Bagaimana penggunaan kaidah-kaidah sederhana dalam menafsirkan Al-Qur’an?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an.
2.      Untuk mengetahui macam-macam kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an.
3.      Untuk mengetahui penggunaan kaidah-kaidah sederhana dalam penafsiran Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Kaidah-kaidah Penafsiran Al Qur’an

       Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular.  Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
       Menurut Qurais Shihab komponen kaidah-kaidah penafsiran Al Qur’an mencakup:
1.    Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran
2.    Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3.    Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran.


B.  Macam-Macam Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur'an

1.    Kaidah Dasar
a.    Kaidah Al Qur’an
1)   Kaidah Quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran.
     Hal ini didasarkan atas pernyataan Al Quran bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Quran secara tepat hanyalah Allah. QS. Al Qiyamah (75) : 19, “Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”
2)   Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang terkandung ber­kaitan dengan nama yang mulia. Misalnya pada QS. Al Baqarah (2) : 32 , mereka menjawab:“Maha suci engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana.” ayat tersebut merupakan dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan me­ngatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?”. QS. Al Baqarah (2) : 30.  Untuk membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia mengajar Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat  Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemaha-ta­huan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
3)   Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat
a)    Memahami mutasyabih itu harus setelah memahami ayat-ayat muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai sesuatu yang pokok, sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami yang pokok harus terlebih dahulu dari pada me­mahami cabangnya. Dengan demikian jika menafsirkan suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui ayat yang muhkam sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat keyakinan yang mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
b)   Untuk memahami mutasyabih itu cara mentakwilkannya harus dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah mendapat suatu pengertian yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus menyelidiki dan membahas ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat muhkam.
b.      Kaidah Sunnah
Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran tetapi menurut wahyu ilahi.  Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran yang ditu­runkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan kemudian dikenal dengan al-Sunnah. Kaidah yang dipergunakan di antaranya ialah:
1)   Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk Al-Quran
Berdasarkan atas hadis Nabi sebagai penjelas al-Quran, se­cara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan de­ngan  Al Quran sebagai materi yang dijelaskannya.
2)   Menghimpun hadis yang pokok bahasannya sama
Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis berfungsi menafsirkan Al Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap dan lain sebagainya.
c.    Kaidah Perkataan Sahabat
Mufassir  tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
d.   Kaidah Perkataan Tabi’in
          Keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan Al Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2.    Kaidah Umum
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah umum penafsiran Al Qur’an :
a.    Dlamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
1)   Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
2)   Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
3)   Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
b.    Penggunaan isim ma’rifat dan isim Nakirah
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
1)   Ta’rif dengan ism dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
2)   Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
3)   pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
4)   Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
5)   Ta’rif dengan ism mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
6)   Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
c.    Pengulangan Kata Benda (isim)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
1)   Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
2)   Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
3)   Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
4)   Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
d.   Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
1)   Kata al-rih/angin, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
2)   Kata al nur/ cahaya dan sabil al-haq/jalan kebenaran selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat/keburukan dan sabil al-bathil / jalan kesesatan selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam.
e.    Mutaradif (kata yang seolah-olah sama)
Dalam Al Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
1)   al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
2)   al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
3.    Kaidah Khusus
a.    Masalah Nalar dan Bukan Nalar
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks Al Qur’an

b.    Qath’i dan Dzani

Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i  dalam Al Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatihul ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berpengaruh pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.

c.    Takwil

          Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.


C.  Penggunaan Kaidah-Kaidah Sederhana Dalam Menafsirkan Al-Qur'an


1.    Kaidah bersumber dari displin ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Ushul Fiqh.
Keragamam sumber itu menjadikan kaidah dimaksud  dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga  makna-makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang (mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara kalimat yang berbentuk verbal sentencedengan nominal sentence. 
Seorang penafsir mestinya dapat menghayati, misalnya mengapa Nabi Ibrahim as. menjawab para malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap  salamă” lalu  beliau menjawabanya dengan “salămun”  (QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan pakar-pakar bahasa antara bentuk kata  salama,  dan  salămun  yakni yang pertama mereka namai Jumlah Fi’liyah. Ucapan malaikat  salam(an)  berbentuk  Jumlah Fi’liyah sehingga ia  dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam  (Kata salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang  ucapan Nabi Ibrahim as  berbentuk  Jumlah Ismiyah sehingga maknanya adalah keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi oleh Tafsir. Misalnya “Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan keluasan ilmu, agar dapat menemukan  dalil-dalil yang mengalihkannya itu. Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks keagamaan yang memerintahkan sedang sebelumnya ada larangan, maka perintah itu sekadar mengandung makna boleh dilakukan”.
2.    Kaidah yang khusus
Kaidah khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian juga menyangkut sistematika penyusunan urutan uraian,  misalnya kapan uraian asbabun nuzûl didahulukan atas uraian tentang hubungan ayat dan kapan sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah maknanya sama atau berbeda. Demikian juga apakah dalam Al Qur’an ada kata atau huruf yang tidak bermakna (zâidah) dan lain-lain.
3.    Kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-Qur’an dan yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu lain
Kaidah kelompok ketiga ini cukup banyak. Sebagai contoh kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa. Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan keagungan-Nya juga dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman Allah إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ   Sesungguhnya Kami  yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah Pemelihara(nya). (QS. al-Hijr [15]: 9). Ini karena yang membawa “turun” Al Qur’an adalah malaikat Jibril as. atas perintah Allah dan yang mememeliharanya bersama Allah antara lain adalah umat Islam.
Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya dengan kata Aku, maka itu antara lain mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di dalamnya, seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ  dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam firman-Nya  ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا Biarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir [74]: 11).


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing

B.     Saran
Saya mengetahui dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna, untuk itu saya mohon pada pembaca memberikan masukan yang membangun, agar dalam membuat makalah selanjutnya lebih baik dari saat ini.

4 comments: